Desa Waru, Kecamatan Jepon Kabupaten Blora memiliki potensi alam yang dikembangkan sebagai wisata edukasi dan hiburan berbasis kearifan lokal. Salah satunya adalah Watu Amben yang dipercaya sebagai lokasi cikal bakal (awal) adanya desa Waru.
Watu Amben adalah batu hitam berukuran besar dengan panjang lebih kurang 10 meter. Bentuk atasnya datar menyerupai amben (tempat istirahat) pada jaman dahulu. Terletak di tengah pemukiman warga, di bawah pohon beringin. Atau tepatnya, berada di depan basecamp menuju puncak gunung Mundri.
“Watu Amben ini sudah ada sejak lama. Dipercaya sebagai cikal bakal desa Waru. Dikenal sebagai tempatnya Mbah Tuan,” kata Soleman, mantan Sekretaris Desa Waru, Senin (14/9/2020).
Berdasarkan tradisi masyarakat, kata dia, setiap bulan Selo (Jawa) hari Jumat Wage, di lokasi Watu Amben diselenggarakan sedekah bucu. Yakni, kenduri bersama dengan tumpeng nasi bucu. Tujuannya memohon kepada Tuhan, agar diberi keselamatan dan kemudahan rejeki.
“Setiap bulan Selo (Jawa) hari Jumat Wage, di lokasi Watu Amben diselenggarakan sedekah bucu oleh warga masyarakat. Ini tradisi warga. Sedekah bucu ini berbeda dengan sedekah bumi. Kalau sedekah bumi dipusatkan di sendang Keputren,” terangnya.
Konon, menurut Soleman, di lokasi Watu Amben juga kerap didatangi orang yang melakukan hajat setelah permintaan (secara ritual) terlaksana.
“Ada yang datang ke Watu Amben, melakukan doa, memohon kesembuhan karena sakit berkepanjangan. Mereka berucap, kalau sembuh dari sakit akan melaksanakan hajatan di Watu Amben. Itu terbukti dilakukan orang, jadi seperti nadar begitu,” tambahnya.
Dahulu lokasi Watu Amben dikenal mistis karena kerap didengar suara bianatang seperti ringkik kuda. Tidak sembarang orang berani masuk atau mendekat di lokasi tanpa didampingi perangkat desa atau orang yang dituakan. Hal itu selain di bawah pohon beringin dan rimbunnya pepohonan lainnya juga rawan dengan binatang liar seperti ular dan babi hutan.
“Dahulu memang ada pohon ringin besar, tapi ditebang karena sudah lapuk. Di tengah batang pohonnya berongga atau keropos. Bahkan sering saya pakai tempat sembunyi dan berteduh dengan teman waktu itu,” kata Soleman.
Untuk menggantikan pohon yang terdahulu, ditanami pohon dengan jenis yang sama dan sekarang sudah tumbuh besar.
Dikatakannya, dahulu di Watu Amben, nampak ada seperti jejak telapak tangan dan kaki, karena tempat itu juga dipercaya sebagai lokasi pasujudan wali.
“Ditengarai memang ada jejak telapak, dipercaya itu telapak Wali. Tapi jejak telapak itu sepertinya sudah tidak kelihatan karena tergerus cuaca atau air hujan,” jelasnya.
Seiring perkembangan jaman, pemerintah desa setempat terus berbenah untuk mewujudkan Watu Amben sebagai tempat yang aman dan nyaman dikunjungi wisatawan.
Lambat laun, kesan mistis itu pudar. Bahkan di lokasi sekitar Watu Amben telah dibangun jalan paving dengan alokasi anggaran dana desa tahun 2019.
Pada salah satu sisi Watu Amben, ditempel prasasti program pembangunan masyarakat desa kabupaten Blora yang ditandatangani oleh Kepala Desa Waru, Soyo.
Watu Amben pun menjadi tempat yang representative, tidak hanya untuk acara tradisi, tetapi juga kekinian untuk latar foto dokumentasi diri dan kajian arkeologi sehingga keberadaannya tetap terjaga.
“Watu Amben memang unik dan menjadi saksi sejarah yang menjadi pemantik untuk menggali cerita tutur dan menikmati pesona alam di desa Waru sehingga akan terus dikembangkan,” kata Soyo, Kades Waru.
Menurut dia, karang taruna desa setempat didorong untuk mewujudkan dan mengelola potensi desa sebagai destinasi wisata dan pelestarian alam setempat.
“Watu Amben adalah salah satu ikon Desa Waru. Selain yang menjadi andalan adalah pesona puncak gunung Mundri. Mulai ramai dikunjungi wisatawan. Semua dikelola oleh pemuda dan karang taruna. Kita mendukung sepenuhnya,” terangnya.
Tidak hanya itu, akses jalan mulai dari Watu Amben menuju puncak gunung Mundri, segera dilakukan pembangunan.
“Sebenarnya sudah kita programkan, tetapi karena ada Covid-19, sehingga tertunda,” ucapnya.
Bagi warga yang ingin datang ke lokasi Watu Amben atau mendaki puncak Mundri disarankan untuk mematuhui protokol kesehatan dan minta petunjuk dari pemandu yang siaga di basecamp.
“Jaga stamina, makan terlebih dahulu sebelum naik ke Mundri, biar kuat. Jangan lupa patuh protokol kesehatan Covid-19,” tegasnya.
Dari data pengunjung sejak tiga bulan dibukanya Watu Amben hingga puncak Mundri, lebih kurang 30 pengunjung setiap hari.
Soyo menyadari, akses jalan desa dari Desa Soko (Sayuran) menuju lokasi tersebut memang cukup menguji nyali. Selain jalan batu, juga ada beberapa tikungan dan tanjakan yang memerlukan kewaspadaan bagi para pengendara sepeda motor atau mobil.
“Harus hati-hati dan waspada. Tapi itulah seni, pengalaman yang akan menjadi kenangan sepanjang masa,” kata dia. (Dinkominfo Kab. Blora).