Blora - Ngatman (77), pria lanjut usia warga RT 01/RW 02 Desa Sogo Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah masih enerjik dan terampil menggunakan sejumlah alat (sungging) untuk membuat hiasan dinding wayang kulit.
Meski kulit tubuhnya keriput dan raut wajah mensyaratkan untuk beristirahat menikmati masa tua, tetapi diabaikan oleh Ngatman.
Berbekal keterampilan yang dimiliki sejak remaja, dirinya masih berkarya dan menerima pesanan hiasan dinding wayang kulit sesuai tokoh dan karakter pewayangan.
"Saya belajar dan bisa membuat wayang ini sejak remaja sampai sekarang. Saya terima pesanan, atau memperbaiki wayang kulit," kata Ngatman, Minggu (17/7/2022).
Biasanya, kata dia, para pemesan membawa kulit kambing atau sapi sendiri. Meski demikian, ia juga menyediakan beberapa kulit kambing siap pakai untuk dibuat hiasan dinding wayang.
"Yang pesan itu untuk dibuatkan tokoh wayang kulit untuk hiasan dinding tanpa memotong kulit. Jadi bagian tengah yang dibuat tampilan satu atau dua wayang," jelasnya.
Selain itu, Ngatman juga menerima jasa untuk memperbaiki (permak) wayang kulit.
Untuk menyelesaikan satu buah hiasan dinding wayang berbahan kulit kambing, sapi atau kerbau, Ngatman membutuhkan waktu lebih kurang satu minggu hingga satu bulan.
Baik mulai dari menggambar sketsa, menatah (sungging) hingga mewarnai dan bila perlu dipigura.
"Untuk satu buah hiasan dinding wayang ini saya butuhkan waktu lebih kurang satu bulan," ucapnya.
Jasa pembuatan hiasan dinding wayang, kata Ngatman, tergantung karakter wayang dan tingkat kerumitan dalam menyungging.
Hanya saja, dirinya mengaku, jasa untuk satu buah hiasan dinding wayang dengan dua atau tiga tokoh wayang senilai Rp750.000,00.
Dirinya menyadari hasil karyanya masih jauh bila dibandingkan dengan para perajin lainnya yang telah profesional.
Sejatinya, dibalik ketekunan menjadi perajin hiasan dinding wayang kulit itu, Ngatman menebarkan edukasi kepada generasi muda khususnya, untuk mengenal wayang kulit dan melestarikan seni budaya peninggalan leluhur asli Indonesia, sebab dirinya dahulu adalah dalang wayang kulit yang cukup terkenal di Blora dan sekitarnya.
"Saya itu dahulu dalang wayang kulit. Tahun 1966 sudah laris sampai Tahun 2000, sekarang sudah tua, menekuni membuat hiasan dinding wayang saja, dan menerima jasa perbaikan wayang kulit," ungkapnya.
Ia mengaku, dalang Blora seangkatannya yang laris kala itu, di antaranya dalang Suwono, Gunadi, Sarijo dan dalang keturunan etnis Tionghoa Ki Kwik Hong Siu.
Ngatman menambahkan, pada eranya pernah mendapat tawaran rekaman di RRI, tetapi karena ada sesuatu hal yang harus dipatuhi dari penasehat spiritualnya, maka tidak jadi dilaksanakan.
Mengharukan, meskipun kala itu dirinya laris dengan tanggapan wayang kulit, baik orang punya hajat atau peringatan hari besar tertentu, Ngatman mengaku tidak memiliki wayang dan gamelan sendiri.
"Tidak punya wayang sendiri, kalau ada tanggapan pinjam atau sewa wayang lengkap dengan pakeliran serta gamelan, juga panjak (penabuh gamelan Jawa) serta sinden," ungkapnya lirih.
Kini, di usia yang sudah sepuh (tua), dirinya tinggal bersama anak dan cucunya di Desa Sogo Kecamatan Kedungtuban. Sedangkan istrinya, sudah lama meninggal dunia.
Beberapa foto kenangan saat menjadi dalang dipajang di dinding rumahnya yang sederhana terbuat dari kayu jati.
Karya Ngatman mendapat apresiasi dari M. Solichan Mochtar, peminat seni budaya desa setempat.
"Mbah Ngatman memang perlu dicontoh bagi yang muda. Mbah Ngatman adalah sosok, yang tua yang berkarya, untuk melestarikan seni budaya adiluhung peninggalan leluhur," kata Solichan Mochtar yang juga mantan Kabid Kebudayaan Dinporabudpar Blora.
Dikatakannya, peranan wayang dalam masyarakat sungguh besar.
"Hal tersebut berlangsung sejak penciptaan serta pemasyarakatan wayang pada awalnya hingga saat sekarang yang ternyata wayang masih disukai oleh masyarakat atau dengan kata lain wayang masih dibutuhkan masyarakat," tuturnya.
Mantan Kabid Kebudayaan Dinporabudpar Blora yang kini menikmati masa purna tugas itu menyebutkan pagelaran wayang adalah sebuah tontonan yang menarik yang penuh estetika.
"Berbagai aspek seni dituangkan oleh Dalang beserta kelompok seniman pengiringnya (pengrawit, pesinden) mulai dari seni rupa wayang, seni gerak wayang, alur cerita, seni drama, seni suara, seni karawitan yang mengiringi," terang Solichan Mochtar.
Kemudian, wayang sebagai media sosialisasi program pembangunan.
"Di era tahun 70-80 an wayang telah banyak berperan menyukseskan program KB oleh BKKBN, pemeliharaan hutan oleh Departemen Kehutanan, pencegahan penyakit menular oleh Departemen Kesehatan," tambahnya.
Bahkan Bank Indonesia sejak pertengahan 2007 hingga sekarang telah menggunakan wayang untuk program menangkal uang palsu dan gerakan uang bersih.
"Pada dasarnya program dari instansi apapun dapat disosialisasikan melalui media wayang," tegasnya.
Selanjutnya, wayang sebagai media dakwah.
"Kegiatan ini telah dilakukan oleh para wali di zaman Kerajaan Demak abad ke 15," terangnya.
Para Wali peranannya sangat besar dalam proses akulturasi wayang yang sebelumnya telah berkembang melalui era masuknya agama Hindu.
"Para Wali memepergunakan wayang yang sudah disesuaikan untuk mengajarkan agama Islam," ujarnya merujuk dari berbagai sumber.
Selain itu, wayang bermanfaat membangun karakter bangsa.
"Praktisnya, wayang sebagai tontonan, tuntunan dan tatanan," ucap Solichan. (Tim Dinkominfo Blora).