Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia di Kabupaten Blora berjalan khidmat, Sabtu (17/8/2019). Upacara dilaksanakan di Alun-Alun dengan inspektur upacara Bupati Blora Djoko Nugroho.
Pengibaran bendera merah putih sukses dilaksanqkan oleh Paskibra Blora. Kemudian, Bupati Blora membacakan teks proklamasi setelah detik-detik proklamasi yang ditandai dengan bunyi sirene dan pemukulan kentongan.
Selanjutnya, Bupati Blora membaca sambutan tertulis Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, SH., M.IP yang diawali salam dan pekik merdeka sebanyak tiga kali.
“Seperti ungkapannya Gus Dur, orang tak akan bertanya apa agamamu, apa sukumu ketika berbuat baik. Dalam masa perjuangan setelah kemerdekaan ini sudah semestinya kita tidak membedakan suku, agama atau pun ras,” kata Bupati Blora membaca sambutan Gubernur Ganjar Pranowo.
Tak peduli warna kulit, rambut, jenis kelamin, kaya atau pun miskin. Semua sama di mata negara. Founding fathers bangsa ini telah memberi contoh lewat laku, bukan sekadar gembar gembor persatuan.
Mereka berdarah-darah menegakkan kemerdekaan. Sebenarnya kita pun mewarisi semangat itu. Namun karena kadang kita memupuk borok dalam dada, membuat kita terlena hingga dengan rasa tanpa dosa saling menghina dan mencerca, bahkan adayangnekadhendak mengganti Pancasila.
“Siapa yang mempermasalahkan Agustinus Adisucipto sebagai pahlawan? Apakah karena beliau seorang Katolik, lantas yang dari Hindu, Budha, Islam, Kristendan Kong Hu Chu menggerutu ?” ujarnya.
Kemudian Albertus Soegijapranata. Beliau merupakan uskup pribumi pertama di Indonesia. Bahkan karena nasionalismenya keras, beliau tidak henti-hentinya mengagungkan semboyan "100% Katolik, 100% Indonesia" dan ungkapan itu terus berdengung hingga kini.
Lantas mari kita tengok pahlawan dari Budha, yang merupakan saudara kita sendiri dari Banyumas, Letjen Gatot Subroto.
Yang tidak kalah penting perannya dalam perjuangan adalah saudara-saudara kita dari Tionghoa.
Ada Yap Tjwan Bing lahir pada 31 Oktober 1910 di Solo. Beliau merupakan satu-satunya anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari Tionghoa dan turut hadir dalam pengesahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada 18 Agustus 1945.
Ada pula Liem Koen Hian merupakan salah satu anggota dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Bahkan beliau jadi salah satu inspirator Bung Karno ketika pidato di majelis BPUPKI tentang berdirinya negara yang tanpa berasaskan ras maupun agama.
Dan sepatutnya kita pun berterima kasih pada tokoh keturunan Arab, Faradj bin Said bin Awak Martak. Pedagang kelahiran Yaman Selatan ini dengan berani menyediakan rumahnya di Pegangsaan Timur No 56 sebagai lokasi proklamasi kemerdekaan RI.
“Lantas siapa yang mempermasalahkan kepahlawanannya I Gusti Ngurah Rai, Untung Suropati, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari karena agamanya ?” lanjutnya.
Bibit jiwa kita adalah bibit tepo sliro, bibit andarbeni, bibit paseduluran. Pancasila sebagai dasar Republik adalah harga mati. Tidak bisa ditawar dan harus kita tanam sedalam-dalamnya di Bumi Pertiwi. Pancasila inilah sebagai induk semangnya negara ini, yang di dalamnya bersemayam ajaran-ajaran agama: Hindu, Budha, Islam, Katolik, Kong Hu Chu dan Kristen.
Yang didalamnya bersemayam spirit-spirit berasaskan kebudayaan Nusantara. Kalaulah sistem pemerintahannya pernah berubah, toh akhirnya jiwa-jiwa yang telah menyatu dari Sabang sampai Merauke dari Miangas hingga Rote tidak bisa dipisahkan.
Sejarah mencatat, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 sistem pemerintahan sempat berganti menjadi Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949.
Namun akhirnya sejak 17 Agustus 1950 Tanah Air ini kembali tegak berdiri sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai kapan? Seperti ungkapan Bung Karno, "Di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia yang kekal dan abadi.
Bung Karno mengatakan, “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan GOTONG-ROYONG".
Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantubersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringatsemua buat kebahagiaan semua.
“Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama ! Tekad kebersamaan, senasib sepenanggungan inilah yang terus kita emban untuk menghadapi zaman,” tandasnya.
Sejak dilahirkan Indonesia mendapat berbagai tantangan dan persoalan berat, mulai dari seringnya bencana alam, korupsi, konflik sosial, gerakan separatismedan radikalisme.
Belum lagi tantangan modernisasi yang bergerak seiring dentang jam.Jangan lagi ada niatan mengganti ideologi bangsa, jangan lagi ada ungkapan, “Ah kamu Batak, ah kamu Irian, ah kamu Bugis, ah kamu Sunda, ah kamu Madura, ah kamu Jawa”
Jangan lagi ada perbincangan kita harus melompat jauh ke depan. Bangsa Cina dan India telah bergerak menuju Bulan, bangsa Amerika telah bersiap membangun perumahan di Mars.
Meski saat ini kita belum mampu, jangan biarkan anak-anak kita hanya jadi penonton atas keberhasilan bangsa lain.
“Kita siapkan mereka saat ini, kita bekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan semangat toleran, agar mereka juga bisa sampai ke Bulan, ke Mars, dan Galaksi lain,” ujarnya.
Kita lah yang menanggung dosa besar jika mereka tertinggal. Kitalah yang menanggung dosa besar jika mereka diremehkan.
Kita lah yang menanggung dosa besar jika mereka dilecehkan. Gold generationharus benar-benar tercipta di tahun2040, 20 tahun lagi.
Mulai sekarang segala daya upaya, tenaga dan pikiran, jiwa dan raga kita kerahkan untuk masa depan cemerlang anak-anak kita. Kita rebut kembali kejayaan Majapahit, yang mampu ekspansi ke bagian bumi di Utara.
Anak-anak kita harus jadi arus besar perubahan yang meluncur ke Utara, ke seluruh bagian di penjuru dunia. Inilah saatnya kita kirim arus balik, setelah sekian lama kita diterpa berbagai kemajuan dari belahan bumi lain.
“Wahai pemuda, persiapkan mental dan akalmu. Jangan melempem berhadapan dengan bangsa lain, jangan lembek ketika ada yang mengejek. Kepalkan tekadmu, bulatkan semangatmu,” tegasnya.
“Saudara-saudaraku, semua hal itu akan mampu kita hadapi dengan satu senjata, kebersamaan. Persatuan Indonesia ! Kita ini diciptakan atas satu jalinan sebagai sapu lidi, yang jika lepas ikatannya ambyarkebangsaan kita, ambyarnegara kita, ambyarIndonesia Raya,” katanya.
Sejarah telah mengikat kuat kita, perasaan senasib sepenanggungan telah menyatukan kita, dan Pancasila telah mendasari kita sebagai bangsa dan negara yang besar.
“Yakinlah kecemerlangan bangsa ini takkan lama lagi.Indonesia akan berjaya seribu windu lamanya, bahkan lebih,” pungkasnya.
Seusai upacara, Bupati Djoko Nugroho menyerahkan piagam dan penyematan satya lancana karya satya kepada sejumlah Pegawai Negeri Sipil. Memberikan sertifikat pembebasan tanah serta memberi remisi kepada sejumlah warga binaan di Rumah Tahanan Blora.
Selain itu, Bupati Blora juga melantik, mengambil sumpah dan menandatangani berita acara 105 Kepala Desa petahana yang terpilih kembali melalui Pilkades serentak di 242 Desa pada 4 Agustus 2019.
Suasana meriah ketika siswa-siswa SMP binaan Dinas Pendidikan Kabupaten Blora menampilkan parade seni tari nusantara.
Yang menjadi pembeda, Bupati Blora, Wakil Bupati Blora, Pimpinan dan anggota DPRD, pimpinan OPD serta ASN, BUMN/BUMD mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah.
Di puncak acara, Bupati Blora, membagikan sejumlah hadiah sepeda ontel kepada peserta dengan penampilan busana yang baik dan menawan.
Hadiah sepeda, di antaranya diberikan kepada Kepala Dinperinnaker Blora H. Setyo Edy dan Kapolres Blora AKBP Antonius Anang Tri Kuswindarto.
Sementara itu, pada rangkaian upacara, Ketua DPRD Blora Ir. H. Bambang Susilo bertugas membaca teks Pembukaan UUD 1945, sedangkan doa disampaikan oleh Plt Kepala Kemenag Blora HM. Fatah. (Dinkominfo Kab. Blora).