Happy Salma, seorang pemeran, penyanyi, produser Monolog Nyai Ontosoroh pada rangkaian Seabad Pramoedya Ananta Toer di pendapa rumah dinas Bupati Blora, Jumat (8/2/2025) malam.
Happy salma mengaku memerankan Nyai Ontosoroh agak gugup lantaran manggung di Blora, bumi kelahiran Pram.
Pementasan monolog Nyai Ontosoroh cukup sukses digelar. Monolog yang diadaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ini Disutradarai oleh Wawan Sofwan.
Membuat penonton yang memenuhi pendapa rumah dinas Bupati, hening dan tak mau beranjak dari kursi maupun tempat berdiri.
Happy Salma yang pernah menerima penghargaan Bali-Dwipantara Nata Kerthi Nugraha 2023 dari Institut Seni Indonesia Denpasar untuk kategori Seniman dan Maesenas Seni itu, mengaku sempat gugup saat memerankan Nyai Ontosoroh pada peringatan seabad pram kali ini.
"Biar bagaimanapun ini pertama kali saya mementaskan di Blora, tempat kelahiran Pramoedya yang menciptakan tokoh Nyai Ontosoroh ini. Saya cukup gugup tapi saya sangat senang sekali," ujar perempuan kelahiran 4 Januari 1980 itu.
Ia menuturkan, butuh waktu kurang lebih sebulan untuk kembali mendalami karakter Nyai Ontosoroh, setelah terakhir kali memainkannya sekitar delapan tahun lalu.
Meski mengaku gugup, aktris kawakan Happy Salma hadir memerankan Nyai Ontosoroh dengan penuh penghayatan.
Hanya ditemani dua kursi kayu, meja sederhana dengan koper tua di atasnya, serta alunan musik lirih yang mengiringi tiap ucapannya, dia begitu apik happy menuturkan kembali kisah seorang perempuan pribumi yang menolak tunduk pada tirani kolonial.
Di akhir acara, Happy Salma menutup monolog dengan kalimat yang menggema di seluruh pendopo : "Namun kami tidak kalah, sebab kami telah melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya."
Dan, riuh tepuk tangan turut meramaikan pendopo dari para hadirin termasuk sastrawan, seniman, mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat umum.
Kisah Sanikem
Diceritakan dalam monolog kisah hidup Nyai Ontosoroh, yang diperankan oleh Happy Salma, adalah kisah hidup seorang wanita pribumi bernama asli Sanikem yang "dijual" oleh ayahnya sendiri kepada seorang Belanda demi sebuah jabatan.
Dengan sebuah koper tua yang dibawa, saat itu Sanikem masih berusia 14 Tahun dan diberangkatkan dari rumahnya untuk menjadi Nyai seorang Belanda bernama Herman Mellema.
Setahun bersama Herman, Sanikem yang dulu, mulai sadar akan posisinya saat ini telah sepenuhnya menjadi Nyai (istri simpanan) seorang tuan Belanda.
Semakin lama, nama Sanikem pun hilang untuk selama-lamanya.
Dari seorang gadis yang tidak tau apa-apa, tuannya mulai mengajari Nyai untuk membaca majalah De Nederlansch yang tiap minggu datang di rumah nya. Lebih dari itu, Herman bahkan mengajari Nyai untuk mengelola sebuah perusahaan.
Setahun berlalu, perusahaan yang dikelolanya berkembang semakin pesat, bahkan salah satunya ada yang menjadi atas namanya. Dari perusahaan itulah nama "Nyai Ontosoroh" Menjadi sebutan namanya.
Setelah menjalani hidup bersama Herman, lahir anak pertama mereka bernama Robert Mellema, dan Annelies Mellema 4 tahun berikutnya.
Namun kemudian, Ontosoroh menyadari bahwa ia harus mengubur impiannya menjadi seorang Mevrouw (wanita yang menikah secara resmi) setelah ajuan pengakuan sah kedua anaknya ditolak oleh pengadilan. Karena Ontosoroh merupakan seorang pribumi yang tidak diakui oleh pemerintah kolonial.
Beberapa waktu berlalu, datang seorang Belanda bernama Ir. Maurits Mellema yang ternyata merupakan anak sah dari Herman Mellema dan istrinya di Belanda bernama Amelia Mellema Hammers.
Kedatangannya dimaksudkan untuk meminta pertanggungjawaban Herman atas perliakunya yang pergi meninggalkan istri sah nya demi seorang gundik selama bertahun-tahun.
Semenjak hari itu, Herman mulai meninggalkan rumah, diikuti oleh anak sulungnya Robert. Hingga akhirnya dikabarkan bahwa Herman telah meninggal di sebuah rumah plesiran milik Baba Ah Cong.
Hidupnya semakin sulit ketika Nyai Ontosoroh harus menghadapi pengadilan akibat tuduhan terhadap putri bungsunya, Annelies, yang dikabarkan menjalin hubungan terlarang dengan seorang pemuda, Minke (tokoh utama dalam Bumi Manusia).
Dengan penuh keteguhan, Nyai Ontosoroh berjuang melawan ketidakadilan kolonial dan perlakuan diskriminatif terhadap pribumi. Namun, perjuangannya tak mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial.
Akhirnya, Nyai Ontosoroh menikahkan putrinya, Annelies, dengan Minke setelah Minke menyelesaikan pendidikannya. Namun, enam bulan kemudian, Nyai Ontosoroh kembali dipanggil ke pengadilan setelah menerima gugatan dari Ir. Maurits Mellema, yang menuntut pengakuan atas seluruh harta warisan Herman Mellema, termasuk hak asuh Annelies.
Keputusan pengadilan menetapkan bahwa Annelies harus dipindahkan ke Belanda/Nederland.
Tak gentar, Nyai Ontosoroh terus memperjuangkan haknya, berusaha mendapatkan pengakuan yang layak.
Namun, pembelaannya bahwa Annelies adalah istri sah Minke ditolak oleh pengadilan, dengan alasan Annelies masih di bawah umur sehingga pernikahannya dianggap tidak sah.
Bahkan, Nyai Ontosoroh menghadapi tuduhan yang lebih berat dituduh bersekongkol dalam tindakan pemerkosaan.
Setelah pengadilan itu, Annelies jatuh sakit dan terpaksa harus memenuhi ketentuan pengadilan untuk berpindah ke tempat leluhur nya di nederland. Dengan membawa koper yang sama seperti digunakan Nyai Ontosoroh belasan tahun silam, Annelies pergi meninggalkan Nyai Ontosoroh dan Minke. (Tim Dinkominfo Blora)