Ngandong merupakan nama sebuah Dusun di tepi sungai Bengawan Solo, tepatnya di Kecamatan Kradenan. Letaknya jauh di pedalaman di tengah-tengah hutan jati ini, menjadi dikenal para ilmuwan berkat penemuan fosil-fosil manusia purba. Bermula pada tahun 1931, ketika Ter Haar mengadakan pemetaan di daerah ini, pada suatu lekukan Bengawan Solo menemukan endapan teras yang mengandung fosil-fosil vertebrata. Pada tahun itu juga ia mengadakan penggalian pada salah satu teras yang berada 20 cm di atas aliran sungai sekarang dan menemukan 2 buah atap tengkorak manusia purba. Penggalian yang berlangsung hingga Desember 1993 bersama-sama Oppenoorth dan Von Koenigswald menemukan beberapa atap tengkorak lainnya hingga akhirnya mencapai 11 tengkorak manusia, sebuah pecahan parietal, dan 5 buah tulang infra-tengkorak (termasuk 2 tibia). Temuan ini kemudian dideskripsikan oleh Oppenoorth sebagai Homo Soloensis. Tengkorak Homo Soloensis Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata 1.100 cc, ciri yang lebih berevolusi dibandingkan dengan Homo Erectus dari Sangiran maupun Trinil. Ciri yang lebih maju juga ditunjukkan oleh bentuk atap tengkorak yang lebih bundar dan lebih tinggi. Dengan demikian otak Manusia Ngandong lebih berkembang dibandingkan kelompok yang pernah ditemukan di Sangiran. Apabila dikaitkan dengan 3 tingkat evolusi yang pernah terjadi di Indonesia, posisi Homo Erectus Ngandong berada pada bagian paling akhir, sehingga tengkorak-tengkorak tersebut merupakan tengkorak Homo Erectus yang paling berevolusi dan paling maju. Selain fosil tengkorak manusia di Ngandong juga ditemukan sejumlah besar fosil mamalia. Kumpulan fauna mamalianya sangat banyak dan beberapa di antaranya merupakan bukti dari fauna yang pernah hidup di lingkungan vegetasi yang sangat terbuka. Hal ini menggambarkan iklim yang lenih kering atau mungkin lebih dingin dari keadaan sekarang.